A. Ibadah itu tauqifiyyah dan tak perlu tambahan lagi.Tauqifiyyah maksudnya adalah
لا يثبت و لا يعمل إلا بدليل من القرآن و السنة
(Tidaklah
ditetapkan dan diamalkan kecuali jika berdasarkan dalil dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah) (Lihat Kitabut Tauhid ‘Aliy Lishshoffil awwal Syaikh
Sholih Fauzan Al Fauzan hal. 11).
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam
I’lamul Muwaqqi’in juz I hal. 334 berkata : “Bahwa asal di dalam ibadah
adalah batal dan haram sampai tegak dalil yang memerintahkannya.”
Ibnu
Katsir di dalam tafsirnya, mengatakan : “Bahwa di dalam masalah ibadah
hanya terbatas pada nash, tidak bisa dipalingkan dengan berbagai macam
qiyas (analog) dan ra'yu (akal fikiran). “(Tafsir Al-Qur’anil Adhim
(IV/258)
Dari sini para ulama’ fiqh beristinbath (menggali hukum dan berkonklusi) kaidah ushul fiqh yang berbunyi :
الأصل في العبادة الممنع والمحرم أم الأصل في العبادة الإتباع
yang
artinya, “Hukum asal dalam masalah ibadah adalah terlarang dan haram
atau hukum asal di dalam ibadah adalah ittiba’”, sehingga datang nash,
dalil atau hujjah yang memalingkannya. Maksudnya adalah terlarang dan
haram beribadah hingga telah terang dan jelas bagi kita akan dalilnya
dari Kitabullah atau hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam
Sehingga dengan kaidah ini, syari'at Islam akan senantiasa murni dan
terjaga dari kontaminan-kontaminan hawa nafsu dan apa-apa yang bukan
dari Islam, akan terjaga dari penyelewengan para munharifin (kaum yang
menyimpang), dan Islam tetap menjadi agama yang terbedakan dari agama
lainnya yang dengan segala kesempurnaannya tak membutuhkan penambahan
dan pengurangan. Karena jika kita menambahkan sesuatu dalam agama ini
padahal agama ini telah sempurna, ataupun menguranginya, berarti pada
hakikatnya kita menganggap sesuatu itu kurang, sehingga perlu kita
tambahkan dan kita kurangi(1)
B. Pembagian Amalan & contoh diantara bid'ah :
Amalan bila ditinjau dari pembagiannya terbagi menjadi dua yaitu ibadah dan mu`ammalah .
• Ibadah
Adapun amalan ibadah maka kaidah sebagimana disebutkan diatas yang ada dalam pelaksanaannya :
"الاصل في العبادات الحظرالا بنص
Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin
(hukum asal dalam semua ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya)
Ibadah menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah adalah :
إسم جامع لكل ما يحبه الله ويرضه من الأقوال والأفعال ظاهزا وباطنا
artinya
: “Suatu nama yang mencakup apa-apa yang dicintai Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan diridhai-Nya dari ucapan dan perbuatan, baik yang dhohir
maupun bathin”.
____________________________________
(1) Disarikan dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 69-73).
Syaikh 'Utsaimin di dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i
menjelaskan syarat yang harus dipenuhi dalam ibadah, bahwa sebagaimana
ketika Fudhail bin Iyadh menerangkan ayat
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya (QS Al-Mulk (67) : 2 ) Beliau
menerangkan bahwa أَحْسَنُ عَمَلًا (yang lebih baik amalnya) adalah
أخلصه وأصوابه “yang paling ikhlash dan paling benar (ittiba’ Rasul)(1)”.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ubudiyah hal. 127 menjelaskan tentang dua
pondasi dasar ( syarat mutlaq pent) dalam ibadah, yakni :
1. Tidak
boleh beribadah kecuali hanya kepada Allah ta'ala semata (ikhlash dan
menjauhkan diri dari syirik baik syirik asghar(2) maupun syirik
akbar(3). pent. )
2. Tidak boleh beribadah kecuali dengan apa-apa
yang disyariatkan-Nya dan haram beribadah dengan berbagai macam bid’ah (
dan ini makna Mutaba’ah li Rasulillah pent.)
Syaikh 'Utsaimin
melanjutkan, (dalam kitab Al-Ibtida’ fi kamal Asy-Syar'i pent.) “Perlu
diketahui bahwa mutaba’ah tidak akan dapat tercapai kecuali apabila amal
yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:
________________________________________________
(1).sebagiaman
Berkata Al fudail bin 'iyadh menafsiri ayat ini أَحْسَنُ عَمَلًا
maknanya: اخلصه و أصوابه yang paling ikhlash dan yang paling benar
kemudian beliau ditanya: apa makna yang paling iklash dan yang paling
benar : beliau menjawab :
ان العمل اذا كان خالصا و لم يكن صوابا لم
يقبل و اذا كان صوابا و لم يكم خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا صوابا و
الخالص ان يكون لله و الصواب ان يكون على السنة
Sesungguhnya suatu
amalan jika ikhlas namun tidak benar maka amalan tersebut tidak diterima
oleh Allah, begitu juga suatu amalan itu benar namun tidak ikhlash maka
juga tidak akan diterima hingga amalan tersebut ikhlash dan benar,
sedangkan suatu amalan itu disebut ikhlash jika hanya untuk Allah
semata, dan di kategorikan benar jika sesui dengan tuntunan sunnah
Rasulullah –salallahu 'alaihi wasalam- . (lihat madarijus salikin مدارج
السالكين (2/91-92)
(2).Syirik yang tidak sampai menyebabkan pelakunya
keluar dari Islam, dan membatalkan amalan yang disertainya saja,
seperti riya’, sum’ah, dan lain-lain.
(3).Syirik yang membatalkan
keislaman pelakunya dan mengeluarkannya dari Islam serta menghapus
seluruh amalnya, seperti menyembah berhala atau wali-wali selain Allah,
tabaruk (ngalap berkah) pada mayit, dan lain-lain.
1. Sebab, yakni
jika seseorang melakukan ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak
disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan mardud (tertolak).
Contoh : seseorang yang melakukan sholat tahajjud pada malam 27
Rajab, dengan alasan bahwa malam tersebut adalah malam mi’raj Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam, adalah bid’ah, dikarenakan sholat
tahajjudnya dikaitkan dengan sebab yang tidak ditetapkan dengan
syari'at, walaupun sholat tahajjud itu sendiri adalah sunnah. Namun
karena dikaitkan dengan sebab yang tidak syar'i, sholatnya menjadi
bid’ah.
2. Jenis, yakni ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam
jenisnya, jika tidak maka termasuk bid’ah. Contoh : seseorang
menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyelisihi
syari'at dalam ketentuan jenis hewan kurban, yang disyari'atkan hanyalah
unta, sapi dan kambing.
3. Kadar (bilangan), yakni ibadah harus
sesuai dengan bilangan/kadarnya, jika menyelisihinya maka termasuk
bid’ah. Contoh : seseorang sholat dhuhur 5 rakaat, dengan menambah
bilangan sholat tersebut, hal ini tidak syak lagi termasuk bid’ah yang
nyata.
4. Kaifiyat (cara), seandainya seseorang berwudhu dengan cara
membasuh kaki terlebih dahulu kemudian tangan, maka tidak sah wudhunya,
karena menyelisihi kaifiyat wudhu’.
5. Waktu, yaitu seandainya ada
orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan
Dzulhijjah, maka tidak sah, karena waktunya tidak sebagaimana yang
diperintahkan.
6. Tempat, seandainya seseorang beri’tikaf bukan di
Masjid, maka tidak sah I’tikafnya, karena I’tikaf hanyalah disyari'atkan
di masjid, tidak pada selainnya.
Berapa ulama membagi ibadah menjadi dua jenis , yakni :
1.
Ibadah Mutlak, yaitu suatu ibadah yang tidak ditentukan secara khusus
oleh Rasulullah kaifiyatnya, jumlahnya, waktu, tempat maupun sifatnya
secara khusus dan terperinci.
Biasanya ibadah mutlak berbentuk suatu
perintah dan berita umum dari Rasulullah tanpa ada qoyyid (pembatas)
jumlah, waktu, tempat maupun sifatnya.
Contohnya adalah, mengucapkan
salam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda, افشوا السلام
بينكم “Tebarkan salam di antara kalian”, lafadh hadits ini adalah umum,
tidak diterangkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam akan batasan
waktunya, bilangannya, dan tempatnya.
2. Ibadah Muqoyyad, yaitu
ibadah yang terikat dengan jumlah, bilangan, waktu, tempat maupun
sifatnya, yang diterangkan secara tafshil (terperinci) oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Contohnya adalah sholat, di mana banyak
hadits yang datang menerangkan tentang sifatnya, bilangannya, waktunya,
dan tempatnya.
Akan tetapi dari sisi penerimaan atau penolakan amalan ibadah tersebut maka perlu memperhatikan beberapa hal berikut ini:
1. Suatu amalan merupakan ibadah pada satu keadaan namun tidak teranggap pada keadaan yang lainnya sebagai ibadah. Misalnya :
-
Berdiri ketika shalat. Hal ini merupakan ibadah yang disyariatkan,
namun bila ada orang yang bernadzar untuk berdiri di luar shalat dalam
rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta`ala tidaklah dibolehkan karena
tidak ada dalil yang menunjukkan pensyariatannya.bahkan dalam sebuah
hadist dikatakan
أن النبي - صلى الله عليه وسلم - رأى رجلا واقفا في
الشمس فسأل عنه فقيل: هذا أبو إسرائيل. نذر أن يقوم في الشمس، ولا يقعد ولا
يستظل، وأن يصوم. فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - " مروه أن يقعد
ويستظل، وأن يتم صومه " فأمره بالوفاء بنذر العبادة المشروعة، وهو الصوم،
ونهاه عن الوفاء بنذر العبادة غير المشروعة، وهي الوقوف وعدم الاستظلال،
ولم يأمره بالكفارة.
bahwasanya Rasulullah salallahu 'alaihi wasalm
melihat seorang laki-laki berdiam diri dengan berdiri dibawah terik
matahari, maka Rasulullah bertanya tentangnya, maka dikatakan kepada
belaiu: dia itu adalah Abu Israil, dia bernadhar akan untuk berdiam diri
dibawah terik matahari, tidak duduk dan tidak berteduh dan sambil
berpuasa, maka Rasulullah berkata: perintahkan kepadanya untuk duduk dan
berteduh (membatalkan nadharnya) dan boleh melanjutkan puasanya, dan
Rasulullah melarang dari melaksanakan nadhar ibadah yang tidak ada
perintah dari syariat, yaitu berdiri dan tidak berteduh, dan rasulullah
tidak memrintahkan untuk mengantinya dengan kafarah. (sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari no. 6704)
- Thawaf yang
disyariatkan pelaksanaannya di baitullah namun ada di antara manusia
yang melaksanakannya di selain baitullah seperti di kuburan wali atau
yang lainnya. & - Pelaksanaan haji di luar bulan haji.
- Puasa
Ramadhan di luar bulan Ramadhan atau ketika hari raya padahal ada nash
yang menunjukkan tidak bolehnya berpuasa pada hari raya tersebut.- Dan
yang semisal dengan perkara-perkara yang telah kami sebutkan di atas.
2. Suatu amalan yang sama sekali tidak ada tuntunannya dalam syariat. Misalnya :
Beribadah
di sisi Ka`bah dengan siulan, tepuk tangan dan telanjang, Mendekatkan
diri kepada Allah dengan mendengarkan musik/nyanyian dan minum khamar.
Maka amalan seperti ini batil, tidak diterima bahkan ini merupakan
kebid`ahan yang pelakunya dikatakan oleh Allah ta`ala :
وقوله - عز وجل - { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } (الشورى آية : 21)
“Apakah
mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Qs As-Syura' : 21 )
3.
Menambah satu perkara atau lebih terhadap amalan yang disyariatkan.
Amalan seperti ini jelas tertolak (akan tetapi dari sisi batal atau
tidaknya ibadah tersebut maka perlu dilihat keadaannya). Misalnya :
-
Ibadah shalat yang telah disyariatkan oleh Allah subhanahu wa ta`ala
ditambah jumlah rakaatnya. Yang demikian ini membatalkan ibadah
tersebut.
- Berwudhu dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga
kali. Yang demikian ini tidak membatalkan wudhu tersebut, namun
pelakunya terjatuh pada sesuatu yang dibenci .
4. Mengurangi
terhadap amalan yang disyariatkan. (Dari sisi batal atau tidaknya maka
perlu dilihat dulu terhadap apa yang dikurangi dari ibadah tersebut).
- Shalat tanpa berwudhu sementara ia berhadats maka shalatnya itu batal karena wudhlu merupakan syarat sahnya shalat.
- Meninggalkan satu rukun dari rukun-rukun ibadah maka ibadah itu batal.
-
Laki-laki yang meninggalkan shalat lima waktu secara berjamaah dan
mengerjakannya sendirian, maka shalatnya itu tidaklah batal tapi
shalatnya itu kurang nilainya dan ia berdosa karena meninggalkan
kewajiban berjamaah
• Muamalah
Pembicaraan tentang muamalah maka kaidah yang ada :
الا صل في المعاملات الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة
"Hukum asal muamalah itu boleh/halal untuk dikerjakan (selama tidak ada dalil yang melarangnya dan mengharamkannya").
Adapun perkara-perkara yang dilarang dan diharamkan dalam muamalah ini bisa kita sebutkan sebagai berikut :
1. Bermuamalah untuk mengganti aturan syariat
Maka
perkara ini tidak diragukan lagi kebatilannya dengan contoh mengganti
hukum rajam bagi orang yang berzina dengan tebusan berupa benda. Hal ini
pernah terjadi di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
seorang pemuda yang belum menikah berzina dengan istri orang lain. Ayah
si pemuda menyangka hukum yang harus ditimpakan pada putranya adalah
rajam maka ia ingin mengganti hukum itu dengan memberi tebusan kepada
suami si wanita tersebut berupa seratus ekor kambing berikut seorang
budak perempuan. Lalu ia dan suami si wanita mendatangi Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam untuk mengadukan hal tersebut dan meminta
diputuskan perkara mereka dengan apa yang ada dalam kitabullah.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab permintaan mereka :
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku akan memutuskan
perkara di antara kalian berdua dengan kitabullah. Kambing dan budak
perempuan yang ingin kau jadikan tebusan itu ambil kembali, sedangkan
hukum yang ditimpakan kepada putramu adalah dicambuk sebanyak seratus
kali dan diasingkan selama setahun". Lalu beliau shallallahu 'alaihi
wasallam memerintahkan kepada salah seorang dari shahabatnya untuk
mendatangi wanita yang diajak berzina oleh pemuda tersebut untuk meminta
pengakuannya. Dan ternyata wanita itu mengakui perbuatan zina yang
dilakukannya hingga ditimpakan padanya hukum rajam. (Sebagaimana
disebutkan riwayatnya dalam hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dalam
shahihnya, pada Kitabul Hudud no. 2695, 2696, demikian pula Imam Muslim
dalam shahihnya no. 1697, 1698)
2. Bermuamalah dengan membuat akad/perjanjian yang dilarang oleh syariat.
•
Akad yang tidak layak untuk diputuskan. Seperti melakukan akad nikah
dengan wanita yang haram untuk dinikahi karena sepersusuan atau
mengumpulkan dua wanita yang bersaudara sebagai istri.
• Akad yang
hilang darinya satu syarat di mana syarat tersebut tidak bisa gugur
dengan ridhanya kedua belah pihak . Seperti menikahi wanita yang sedang
menjalani masa `iddah, nikah tanpa wali atau menikahi istri yang masih
dalam naungan suaminya.
• Melakukan akad jual beli yang diharamkan
Allah subhanahu wa ta`ala, seperti jual beli dengan cara riba, jual beli
minuman keras, bangkai, babi dan sebagainya.
• Akad yang berakibat
terdzaliminya salah satu dari dua belah pihak. Seperti seorang ayah
menikahkan putrinya yang dewasa tanpa minta izin kepadanya. Maka akad
ini tertolak ketika anak itu tidak ridha dan menuntut haknya namun bila
ia ridha akad tersebut sah.
Kaidah dalam menyatakan suatu amalan sebagai bid’ah
Imam
Al-Muhaddits Al-Ashr Al-Allaamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
rahimahullah (1) menjelaskan delapan perkara yang dapat dikategorikan
sebagai bid’ah :
1. Setiap perkara yang menyelisihi sunnah baik ucapan, amalan, I’tiqod maupun dari hasil ijtihad.
2.
Setiap sarana yang dijadikan wasilah untuk bertaqarrub kepada
Allah, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melarangnya atau
tidak menuntunkannya.
3. Setiap perkara yang tidak mungkin di
syariatkan kecuali dengan nash (tauqifiyah) namun tak ada nashnya, maka
ia adalah bid’ah, kecuali amalan sahabat.
4. Sesuatu yang dimasukkan dalam ibadah dari adat-adat dan tradisi orang kafir.
______________________________________
(1). Ahkamul Jana-iz wa Bid’uha hal. 241-242.
5. Apa-apa yang dinyatakan ulama’ kontemporer sebagai amalan mustahab tanpa ada dalil yang mendukungnya.
6. Setiap tata cara ibadah yang dijelaskan melalui hadits dho’if atau maudhu’
7. Berlebihan (ghuluw) dalam beribadah.
8.
Setiap peribadatan yang dimutlakkan syari'at, kemudian dibatasi
oleh manusia seperti tempat, waktu, kaifiyat dan bilangan tanpa ada
dalil khususnya.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa segala hal
yang diada-adakan dalam permasalahan agama adalah tercela dan jelek
sekali. Karena sebagaimana perkataan Imam Fudhail bin Iyadh, bahwa
إن البدعة أحب إلى ألشيطان من للمعصية
“Sesungguhnya
bid’ah itu lebih dicintai syaithan ketimbang maksiat”, dikarenakan,
pelaku maksiat diharapkan sadar akan kesalahannya, karena ia mengetahui
bahwa maksiat itu adalah keharaman yang nyata, sedangkan pelaku bid’ah
yang mengamalkan suatu bid’ah menganggapnya sebagai suatu sunnah.
Ibnu '''Umar Radhiallahu ‘anhu juga berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“Setiap
bid’ah adalah sesat meskipun manusia menganggapnya baik”(1). Maka
janganlah tertipu dengan banyaknya bid’ah di hadapan mata dan manusia
menganggapnya sebagai kebajikan, karena sesungguhnya Ibnu Mas’ud
Radhiallahu ‘anhu berkata :
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتكم
“Ittiba’lah jangan berbuat bid’ah karena kau telah dicukupi.”(2)
_________________________________________________________________________
(1).
Diriwayatkan oleh Al-Lalikai (no 126), Ibnu bathah (205), Baihaqi dalam
Al-Madkhal ila sunan (191), Ibnu Nashir dalam As-Sunnah (no 70) dengan
tahqiqnya. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 92.
(2).
Diriwayatkan oleh Ibnu Khaitsamah dalam Al-Ilmu (no 14) dari jalan
An-Nakha'i. Sanadnya shahih. Dinukil dari ‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar